Monday, September 26, 2016

Keutamaan Hari Asyura’

 
Ibnu Abbas r.a berkata, Rasulullah SAW datang di Madinah, lalu beliau menemukan orang-orang Yahudi sedang berpuasa hari Asyura’. Beliau bertanya pada mereka. Mereka menjawab, “Sesungguhnya hari ini Allah memenangkan Musa dan Bani Israil atas kaum Fir’aun. Maka kami puasa hari itu, untuk mengagungkannya.”
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Kami adalah orang-orang yang lebih berhak dengan Musa daripada kamu.” Lalu beliau memerintahkan untuk berpuasa.  Mengenai keutamaan hari Asyura’ ini banyak disebutkan di dalam atsar. Di antaranya, bahwa Nabi Adam diterima tobatnya pada hari Asyura’. Nabi Adam juga diciptakan pada hari itu Nabi Adam dimasukkan surga, juga pada hari Asyura’. Arasy diciptakan juga pada hari Asyura’. Demikian pula halnya dengan Kursyi, langit, bumi, matahari, bulan dan bintang-bintang. Nabi Ibrahim Al-Khalil dilahirkan dalam hari itu, dan keselamatannya dari api juga di dalam hari itu. Demikian pula dengan keselamatan Nabi Musa dan orang-orang yang menyertainya, serta Fir’aun ditenggelamkan bersama orang-orang yang mengikutinya juga pada hari itu. Dalam hari itu juga Idris diangkat ke langit. Dalam hari itu juga Idris diangkat kepada kedudukan yang tinggi. Dalam hari itu juga bahtera Nuh mendarat di Judy. Dalam hari itu pula Sulaiman diberi kekuasaan yang besar, Yunus dikeluarkan dari perut ikan, penglihatan Ya’kub dikembalikan padanya, Yusuf dikeluarkan dari sumur dan dihilangkannya penderitaan Ayyub.

   Kemudian pertama kali hujan turun dari langit adalah pada hari Asyura’ juga. Dan berpuasa pada hari itu lebih dikenal di antara umat-umat ini sehingga dikatakan, bahwa sesungguhnya dia adalah fardhu sebelum Ramadhan, tetapi kemudian dinasakh.

  Nabi Muhammad SAW telah berpuasa pada hari itu sebelum hijrah dan ketika telah memasuki Madinah, beliau mengukuhkan anjurannya. Sehingga beliau bersabda pada akhir umurnya yang mulia, “Kalau aku hidup pada tahun yang akan datang, sungguh aku akan berpuasa tanggal Sembilan dan sepuluh (Muharram).” Tetapi kemudian beliau telah berpindah ke Rafiiqil A’la (wafat) pada tahun itu pula, dan belum sempat berpuasa, kecuali tanggal sepuluh. Akan tetapi beliau telah menyukai (menyunatkan) puasa pada hari itu dan juga puasa tanggal Sembilan dan bahkan sebelas hari dengan sabdanya: “Berpuasalah kamu sebelum dan sesudahnya satu hari dan berbedalah kamu dengan orang-orang Yahudi.” Yakni dimana mereka hanya berpuasa tanggal sepuluh itu saja.

Al-Baihaqi meriwayatkan dalam Syuabil Iman, “Barangsiapa yang membuat kelapangan atas keluarga dan istrinya dalam hari Asyura’. Allah akan melapangkan padanya dalam sisa waktu setahunnya.”

   Dan dalam sebuah riwayat mungkar Ath-Thabrani dikatakan, “Sedekah satu dirham di dalam hari Asyura’ sama dengan tujuh ratus ribu dirham.”

Adapun tentang hadis yang menerangkan, “Barangsiapa yang bercelak mata pada hari Asyura’, maka tidak akan sakit mata dalam setahun. Barangsiapa yang mandi pada hari Asyura’. Maka tidak sakit”. Maka semuanya itu hadis maudhu.

Al-Hakim menjalaskan, “Bahwa bercelak mata pada hari Asyura’ adalah perbuatan bid’ah”.
Ibnul-Qayyim berkata, “Hadis yang menerangkan bercelak mata, memasak biji-bijian, memakai minyak dan memakai wangi-wangian pada hari Asyura’ adalah dari perbuatan orang-orang pembohong.”

(Ketahuilah), bahwa apa yang menimpa Sayyidina Husain r.a berupa bencana pada hari Asyura’ itu, sesungguhnya adalah kesyahi yang menunjukkan bertambah tinggi kedudukan dan derajatnya disisi Allah, dan mempertemukannya dengan keluarga baitnya yang suci-suci. Maka barangsiapa yang menyebutkan tentang musibahnya pada hari itu, maka tidak seyogyanya, kecuali hanya istirja’ (membaca Inna lillaahi wa innaa ilaihi raji’un), karena mengikuti perintah Allah, dan memelihara apa yang ditumbuhkan Allah dari hal itu.

Allah SWT berfirman: “Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah:157)

Dia takut dari kesibukan bid’ah-bid’ah kaum Rafidhah atau semisalnya, berupa Nadbi (meratap dengan menghitung dan menyebutkan kebaikan di mati) dan niyahah (menangis dengan menjerit pada mayat) dan kesedihan. Sebab semua itu bukanlah termasuk kelakuan orang-orang mukmin. Jika tidak, tentu kakek Nabi Muhammad SAW saat wafat lebih berhak untuk itu dan lebih nyata. Yang mencukupi kita Allah sendiri dan sebaik-baik Tuhan Yang diserahi adalah Allah.

No comments:

Post a Comment